BID’AH???
Mungkin kata ini sudah tidak lagi asing terdengar ditelinga kita. Entah dari teman, guru, ‘ulama-ulama’ yang ‘sibuk’ memopulerkannya. Berangkat dari lima huruf tersebut yang kemudian menimbulkan beranekaragam varian penafsiran didalamnya. Berbicara masalah “bid’ah” itu berarti kembali berbicara masalah yang banyak mengandung persoalan rumit, Polemis, pelik dan kontradiktif yang tentunya perlu adanya pemahaman yang mendalam. persoalan ini bisa di bilang sebagai persoalan ‘klasik’ yang memang para ulama semenjak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu sudah diperdebatkan. Namun, hal ini akan selalu menjadi topik yang sering muncul diantara kita disebabkan zaman yang semakin berkembang dan perbedaan situasi yang terjadi dengan zaman Rasul.
Kegiatan membahas persoalan bid’ah merupakan kegiatan
yang akan menguras banyak energi kita dan umumnya umat sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan karena betapa banyak persoalan semenjak Nabi wafat hingga sekarang yang belum pernah ada pada zaman Nabi namun para umat sesudahnya banyak yang mengamalkannya. kita ambil contoh di Indonesia seperti khubah jumat yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan di daerah-daerah tertentu menggunakan bahasa daerahnya, shalat tasbih yang Rasul pun belum pernah mengerjakannya akan tetapi memerintahkan kepada pamannya Ibn Abbas, Tradisi bersalaman sehabis shalat, tahlilan, yasinan, atau di masjidil haram misalnya bahwa prosesi salat terawih yang dikerjakan dengan menghatamkan 30 juz dalam satu bulan yang ini pun pada zaman nabi belum dikerjakan dan masih banyak banyak lagi amalan-amalan yang kiranya belum terjadi namun diamalkan pada saat ini.
di satu sisi ini menunjukan bahwa adanya semangat (giroh) yang tinggi untuk senantiasa menjalankan Sunnah Rasulullah ‘shollallu’alaihi wasallam sehingga menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar dan berusaha untuk menjaga kemurniaan agama. Namun disisi lain, hal ini pula akan menimbulkan semangat “bermusuhan” dikalangan umat. karena tak jarang dijumpai ketika suatu amalan yang dianggap ‘baru’ (tak ada pada zaman Rasul) langsung dikecam bahwasanya ialah ahli Bid’ah. Mengecam orang lain sebagai ahli bid’ah berarti sama halnya mengklaim bahwa ia adalah penghuni neraka. padahal yang menentukan surga dan neraka itu hanyalah Allah SWT. Maka tak heranlah jika banyak permusuhan-permusuhan timbul karena disebabkan perbedaan pemahaman yang kesemuanya bermuara kepada sumber yang sama.
Maka, sikap saling menghormati, saling menghargai antar golongan yang berbeda pemahaman dan sikap persaudaraan antar muslim hendaklah selalu dipupuk sehingga permusuhan-permusuhan yang ditimbulkan oleh perbedaan pemahaman itu tidaklah terjadi kembali.Masalahnya, lantas apa sebenarnya makna dari bid’ah itu sehingga menimbulkan berbagai macam varian pemahaman di kalangan umat. Dalam tulisan sederhana ini yang tentunya jauh dari kesempurnaan akan dikemukan penjelasan-penjelasan yang bersumber dari berbagai macam sumber diantaranya tokoh ulama di daerah Lampung ketika terjadi dialog tentang bidah dan bersumber dari tulisannya yang dinukilkan dari kitab-kitab muktabarah.
PENGERTIAN BID’AH MENURUT BAHASA
menurut BAHASA, dalam kitab “Lisanul Arab” yang ditulis oleh Muhammad bin Mukarram bin ‘Ali Abu al-Fadl Jamal al Din bin Mandzur bahwa البدعة adalah ism (kata benda) dari الإبتداع (menciptakan sesuatu). Dikatakan, بدع الشيئ يبدعه بدعا وابتدعه انشأه وبدأه . Kata البديع dan البدع berarti “sesuatu yang pertama.”
Jika dikatakan : “فلان بدع فى هذا الأمر”, berarti “orang yang pertama kali melakukannya, dan belum pernah ada orang lain yang melakukannya.” Sedangkan kata: “أبدع وابتدع وتبدع” berarti mengada-ngadakan suatu bid’ah.
Imam Abu al-Husain Ahmad bin Faris (w. 395 H) berkata:ابتداء الشيئ وضعه لا عن مثال” [Sesuatu yang pertama adanya dan dibuat tanpa ada contoh], sedangkan al-Imam Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qadir al-Razi berkata, bahwa bid’ah secara bahasa berarti: "اخترعه لا على مثال سابق" (mengadakan sesuatu dengan tanpa ada contoh terlebih dahulu).ini dikutip dari kitabnya Muhtar al-Shihhah, (Beirut : Dar al Fikr, [t.th]), hal. 43.
maka, jelaslah arti bid’ah menurut bahasa itu. bid’ah merupakan suatu perkara yang baru tanpa adanya panduan atau contoh sebelumnya.
PENGERTIAN BID’AH MENURUT ISTILAH
Kemudian bagaimanakah pengertian Bid’ah menurut istilah itu sendiri yang kemudian menimbulkan pemahaman berbeda dikalangan umat. Sebagaian dari mereka Ada yang memahami ‘bid’ah’ yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan As-Sunnah saja dan apa pula yang menafsirkan lebih global yang berarti segala sesuatu yang tidak terjadi pada zaman Rasul SAW. baik itu terpuji maupun hal yang tercela.
Maka para ulama menafsirkan bid’ah diantaranya
1. Al Imam al-Syafi’i ( 150 H/ 767 M –204 H/820 M) :
Al-Baihaqi dengan isnad-nya meriwayatkan dalam Manaqib al-Syafi’i dari al-Imam al-Syafi’i r.a, ia berkata :
المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابًا أو سنةً أو أثرًا أو اجماعًا فهذه البدعة الضلالة. والثانية ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من العلماء وهذه محدثة غير مذمومة، وقد قال عنه فى قيام رمضان نعمت البدعة يعنى محدثة لم تكن
“Perkara-perkara baru ada dua bagian, pertama sesuatu yang baru diadakan berupa sesuatu yang bertentangan dengan kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua, suatu yang diadakan berupa kebajikan yang tidak diperselisihkan oleh seorang ulama pun, inilah (bid’ah) yang tidak tercela. “Umar ra. pernah berkata mengenai Qiyam Ramadhan: “ni’mat al-bid’ah hadzihi,” yakni perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya.”
(lihat : Al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Jilid I, hal. 469, lihat juga al-Hafidz Ibn Hajar, Fath al Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1407), Jilid XIII, hal. 253.)
2. Al-Imam Ibn Hazm al-Dzahiri (wafat 456 H)
Beliau mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
البدعة فى الدين كل ما لم يأت فى القرآن ولا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا أن منها ما يؤخر عليه صاحبه ويعذر بما قصد إليه من الخير ومنها ما يؤجر ويكون حسنا وهو ما كان أصله الإباحة، كما روى عن عمر رضى الله عنه نعمت البدعة هذه. وهو ما كان فعل خير جاء النص بعمومه استجابا، وإن لم يقرر عمله فى النص ومنها ما يكون مذموما ولا يعذر صاحبه وهو ما قمت الحجة على فساده
“Bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan tidak diatur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama, hanya saja di antara bid’ah ini ada yang pelakunya bisa memperoleh pahala dan dibalasi niat baiknya. Di antara bid’ah itu ada yang bisa memperoleh pahala, dan sesuatu itu adalah hal yang baik, yaitu yang pada asalnya adalah al-ibahah (boleh dilakukan). Sebagaimana diriwayatkan dari Umar ra: “ni’mat al-bid’ah hadzihi (inilah sebaik-baik bid’ah),” dan sesuatu adalah perbuatan baik yang tercakup dalam keumuman al-nashsh sebagai sesuatu perbuatan yang dicela dan pelakunya tidak memperoleh pahala. Inilah suatu perbuatan di mana ada argumen yang memastikan kerusakannya.”
3. Al-Imam ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam wafat. 660 H) yang mendapat gelar
“Sulthan al-‘Ulama” mengemukakan:
هي فعل لم يعهد الرسول صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة محرمة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة
“Bid’ah adalah suatu perbuatan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama. bid’ah dapat dibagi menjadi: bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah.”
(lihat : ‘Izz al-Din Bin ‘Abd al-Salam, Qawa’d al-Ihkam fi al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420/1999), cetakan I, Jilid II, hal. 133-134.)
penjelasannya, bahwa semua yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW dinamakan dengan bid’ah termasuk yang bernilai baik (positif). namun, perlu dilihat pula terdapat pembagian bidah mnjadi lima yang disesuaikan dengan hukum taklif yaitu wajib, haram, mandub, makruh, mubah. Menjadi wajib ketika melingkupi pada ranah wajibah (kaidah-kaidah wajib), menjadi muharramah ketika termasuk kedalam ranah suatu yng dilarang dan tdak berlandaskan syara’ dan seterusnya.
4. Al-Imam Abu Sa’id al-Khadimi mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
وهى الزيادة فى أعمال الدين أو النقصان من الحادثان بعد الصحابة بغير إذن من الشارع لا
قولا ولا فعلا ولا صريحا ولا إشارة فلا تناول العادات أصلا بل تقتصر على بعض الإعتقاد وبعض صور العبادات.
Bid’ah itu adalah tambahan dalam amaliah agama ataupun pengurangan daripadanya yang keduanya itu baru terjadi sesudah masa sahabat, dengan tidak ada izin dari al-Syari’ (pembuat syariat), tidak dengan perkataan, tidak dengan perbuatan, tidak dengan terang dan tidak dengan isyarat. Maka bid’ah itu tidak menyangkut urusan adat sama sekali, akan tetapi hanya berkisar atas sebagian akidah dan sebagian rupa-rupa ibadah.
(lihat : Abu Sa’id al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah Syarh Tariqah Muhammadiyyah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1348) Juz I, hal. 92-93)
dengan demikian, dari dari uraian tentang definisi bid;ah secara istilah dapat disimpulkan menjadi segala sesuatu yang baru atau pengurangan dan penambahan dalam agama islam yang terjadi pada zaman sekarang yang itu tidak pernah ada pada zaman Rasulullah ‘Shalallohu’alaihi wasallam’ yang menyangkut persoalan akidah (kepercayaan) dan ibadah dan yang serupa dengannya. namun, tidaklah menyangkut persoalan adat.
KLASIFIKASI BID’AH
dari uraian tersebut pula para ulama mengklasifikasikan bid’ah menjadi dua garis besar yaitu bidah hasanah (terpuji) dan bid’ah syayyi’ah (tercela).
1. Bid’ah Hasanah (terpuji) yaitu segala perbuatan (amaliyah) yang menyangkut persoalan agama yang baik dan tentunya tidak bertentangan dengan syariat islam.
seperti doa bersama, perayaan hari besar islam, peringatan maulid nabi, tahlilan, yasinan dari rumah ke rumah, bersalaman seusai mengerjakan shalat dan masih banyak lagi. Tentunya hal ini merupakan amaliyah yang terdapat landasannya. bukannya nabi Muhammad SAW pun pernah bersabda أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم) artinya kamu lebih mengetahui urusan duniamu (lihat : Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid II, hal. 340) maka dapat difahami dalam artian bahwa ada unsur-unsur (ajaran) yang ajran esensi agama ada yang disebut unsur-unsur yang merupakan ‘teknis’ dalam pelaksanaannya ajaran itu. maka rasul memberikan kebebasan kepada umat dalam rangka melaksanakan ajaran itu. misalnya doa bersama bahwa dalam alquran pun apabila selsei mengerjakan shalat maka diperintahkan untuk berdzkir (baca: Q S. An nisa : 103). berdzikir itu bisa dengan berdoa, tahlil, beristighfar. Teknis dalm membaca bisa dengan sendirian kah, ada imam kah, dengan suara keras ataupun lemah itu semua adalah termasuk teknis. maka terserah kita untuk melaksanakannya dalam menentukan teknisnya.
contoh lainnya yang sering muncul ialah masalah ta’ziyah, apakah itu malam kesatu, kedua samapai ke tujuh dan seterusnya. Cara (teknis) berta’ziyah tidak diatur oleh Nabi maka teknis itu terserah kita dalam melaksanakannya yang yang pentng esensi nya tetap sama yaitu mendoakan. sama halnya dengan peringatan hari besar islam bahwa bukankah Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Allah menceritakan masa lalu sebagai ibarat kepada orang yang berfikir. Misal maulid nabi, isra mi’raj yang telah terjadi masa lalu, maka teknis dalam melaksanakannya misalnya dengan mengundang orang banyak dan dikumpulkan untuk mendengar ceramah dari seorang penceramah atau dengan menulis di mass media sekalipun.
sehingga sekali bahwa teknis ataupun cara melaksanakan ajaran itu diserahkan kepada kita, sedangkan dalam masalah esensi ajaran itu yang apabila diada-adakan maka itulah yang disebut sebagai bid’ah.
2. Bid’ah Sayyi’ah/ Qobihah/ Fasidah, yaitu segala perbuatan (amaliyah) yang menyangkut persoalan agama islam yang tidak baik dan berseberangan dengan syariat islam. misalnya pergi ke seorang dukun atau paranormal untuk menayakan ramalan tentang jodoh, nasib, ataupun meminta-minta pada pohon besar yang diyakini kramat. maka, jelaslah sudah bahwa hal semacam inilah yang dimaksudkan sebagi bid’ah syayyiah (tercela) yang tidak ada landasannya dalam syariat islam.
***
Ada beberapa argumen yang dikemukakan untuk dua klasifikasi bid’ah di atas:
1. Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Hadid : 27
وجعلنا في قلوب الذين اتبعوه رأفة ورحمة ورهبانية ابتدعوها ما كتبناها عليهم إلا ابتغاء رضوان الله (الحديد: 27)
“Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah SWT”. (QS. Al-Hadid: 27)
Ayat ini menjadi dalil adanya bid’ah hasanah itu, karena maknanya, memuji orang-orang yang beriman dari umat Nabi Isa yang mereka mengikutinya dengan penuh keimanan dan tauhid. Allah SWT memuji mereka karena mereka adalah “ أهل الرأفة “ dan “ أهل الرحمة “ dan juga mengada-adakan rahbaniyyah. Al-rahbaniyyah adalah memutuskan diri dari nafsu sahwat, sehingga mereka tidak mau menikah karena ingin serius beribadah. Adapun makna dari “Kami tidak memfardukan kepada mereka,” ialah karena mereka sendiri yang menghendaki untuk lebih dekat dengan Allah SWT, lalu Allah SWT memuji mereka atas apa yang mereka ada-adakan itu, meskipun tidak ada teks kitab Injil yang mengaturnya dan tidak ada pula perintah dari Nabi Isa AS.
2. Hadits shahih dibawah ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah/mahmudah :
عن عبد الرحمن بن عبد القارى أنه قال خرجت مع عمربن الخطاب رضى الله عنه ليلة فى رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلى الرجل لنفسه ويصلى الرجل فيصلى بصلاته الرهط فقال عمر إنى أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبى بن كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلات قار لهم فقال عمر: نعمت البدعة هذه (رواه ملك والبخارى)
Hadits shahih di atas dengan jelas menunjukkan bahwa shalat Tarawih berjamaah secara terus menerus sebulan penuh adalah bid’ah, karena tidak dikenal pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama. meskipun demikian, menurut komentar Umar ibn al Khaththab terklasifikasi dalam bid’ah hasanah.
(lihat : Malik bin Anas, Muwaththa’ Imam Malik, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1370/1951), Juz I, hal. 104-105; al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut; Dar al-Fikr, [t.th]), Jilid I, hal. 342)
3. Berdasarkan hadits hasan berikut ini ternyata ada bid’ah sayyi-ah/dhalalah :
عن كثير بن عبد الله عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لبلال بن الحارث اعلم قال ما أعلم يا رسول الله قال: إنه من أحيا سنة من سنتى قد أميتت بعدى كان له من الأجر مثل من عمل بها من آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئًا (رواه الترمذى وقال هذا حديث حسن)
Jadi berdasarkan hadits yang disebut terakhir ini, seandainya setiap bid’ah itu dhalalah, tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama tidak akan menambah kata-katanya menjadi “ بدعة ضلالة “, namun akan cukup menyebut dengan redaksi “ ومن اتبدع بدعة“ Dengan disebutkannya kata “بدعة ضلالة “, secara logis berarti ada bid’ah hasanah.
(lihat : Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: dar al-Fikr, 1403/1983), jilid IV, hal. 150-151)
hadits-hadits shahih yang memuat kalimat “ وكل بدعة ضلالة“ dan dalam riwayat al-Imam al-Nasai setelah kalimat tersebut ada tambahan “وكل ضلالة فى النار “.(lihat : Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Mesiar : Mathba’ah Mustafa Muhammad, [t.th], hal. 91)
Lalu kemudian muncul pernyataan mengapa para ulama, khususnya dalam mazhab al-Syafi’i, membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Bahkan ada yang merincinya menjadi lima kategori? Apakah yang demikian justru tidak kontradiktif dengan hadits di atas ? Jawabannya hadits-hadits tersebut secara lahir tidaklah saling bertentangan (ta’arudh).
Karena hadits “وكل ضلالة فى النار “ ini bersifat umum ( عام ) dan tidak di-takhshish. Sebagaimana dinyatakan antara lain oleh Muhammad al-Zurqani :
وحديث: كل بدعة ضلالة عام مخصوص.
(lihat : Muhammad al-Zurqani, Syarh al-Zurqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, (Beirut : Dar al-Zil, [t.th]), hal. 238)
Oleh karena itu, pengertian hadits “setiap bid’ah itu sesat”, setelah di-takhshish (dikecualikan) menjadi : setiap bid’ah itu sesat :
1. Kecuali dalam urusan dunia, berdasarkan hadits shahih riwayat al-Imam Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم)
(lihat : Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid II, hal. 340)
Contohnya : membuat gedung yang kokoh, membuat pesawat terbang, kendaraan yang bagus dan urusan duniawi lainnya.
2. Kecuali yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidin, berdasarkan hadits :
فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين (رواه ابو داود)
(lihat : Abu Daud, Loc. cit)
Contohnya : membukukan al-Qur'an, adzan dua kali dalam adzan untuk shalat Jum'at memerintahkan untuk shalat Tarawih dikerjakan secara berjamaah selama bulan Ramadhan.
3. Kecuali bid’ah hasil ijtihad para imam mujtahid, berdasarkan hadits dari Mu’adz bin Jabal yang hendak diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama ke Yaman itu. Sebab, berdasarkan hadits ini, para imam mujtahid telah mendapat ijin dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama untuk memutuskan dan menggali hukum. Oleh karena itu, hasil-hasil ijtihad para mujtahid terdahulu tidak boleh dikatakan sebagai bidah dhalalah. Meskipun hasil-hasil ijtihadnya itu belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama.
Contohnya adalah ijtihad dalam masalah zakat fitrah yang menurut mazhab Imam Abu Hanifah sah bila dibayarkan dengan uang seharga makanan pokok yang dizakatkan, zakat padi, sapi dan lain sebagainya yang belum pernah dikerjakan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama maupun para sahabat. Hal semacam ini tidak boleh diklasifikasikan dalam bid’ah dhalalah.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak tepat jikalau semua bid’ah itu adalah sesat (dhalalah).
2. para ulama mengkalsifikasikan bid’ah kedalam dua kategori atau bahkan terdapat yang mengklasifikasikan menjadi lima. namun secara garis besar dapat dibagi menjadi bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah sayyiah (tercela). adapun yang dimaksudkan bid’ah hasanah itu ialah segala amaliyah keagamaan yang belum terdapat pada zaman nabi namun diamalkan setelah nabi yang tentunya berlandaskan pada syariat islam. sedangkan yang maksud dengan bid’ah sayyi’ah ialah segala amaliyah yang tidak terdapat pada masa nabi namun diamalkan pada zaman setelah nabi dan berseberangan dengan Syari’at islam
3. hendaklah kita saling menghormati dan menghargai antar golongan yang berbeda pemahaman sehingga tidak akan menimbulkan permusuhan seperti yang kerap terjadi. kegiatan menjaga hati orang lain yang berbeda pemahaman atau penafsiran untuk tidak memfonisnya sebagai ahli bid’ah memang harus selalu dijaga. memfonis seseorang sebagai ahli bid’ah berarti pula memfonisnya sebagai ahli neraka (penghuni neraka). Na’udzubillah. Padahal yang berhak untuk menentukan surga dan neraka hanyalah Allah semata. Semoga Allah SWT selalu membimbing, memberikan ilmu yang bermanfaat, aminn, WaAllahu’Alam..
Mungkin kata ini sudah tidak lagi asing terdengar ditelinga kita. Entah dari teman, guru, ‘ulama-ulama’ yang ‘sibuk’ memopulerkannya. Berangkat dari lima huruf tersebut yang kemudian menimbulkan beranekaragam varian penafsiran didalamnya. Berbicara masalah “bid’ah” itu berarti kembali berbicara masalah yang banyak mengandung persoalan rumit, Polemis, pelik dan kontradiktif yang tentunya perlu adanya pemahaman yang mendalam. persoalan ini bisa di bilang sebagai persoalan ‘klasik’ yang memang para ulama semenjak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu sudah diperdebatkan. Namun, hal ini akan selalu menjadi topik yang sering muncul diantara kita disebabkan zaman yang semakin berkembang dan perbedaan situasi yang terjadi dengan zaman Rasul.
Kegiatan membahas persoalan bid’ah merupakan kegiatan
yang akan menguras banyak energi kita dan umumnya umat sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan karena betapa banyak persoalan semenjak Nabi wafat hingga sekarang yang belum pernah ada pada zaman Nabi namun para umat sesudahnya banyak yang mengamalkannya. kita ambil contoh di Indonesia seperti khubah jumat yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan di daerah-daerah tertentu menggunakan bahasa daerahnya, shalat tasbih yang Rasul pun belum pernah mengerjakannya akan tetapi memerintahkan kepada pamannya Ibn Abbas, Tradisi bersalaman sehabis shalat, tahlilan, yasinan, atau di masjidil haram misalnya bahwa prosesi salat terawih yang dikerjakan dengan menghatamkan 30 juz dalam satu bulan yang ini pun pada zaman nabi belum dikerjakan dan masih banyak banyak lagi amalan-amalan yang kiranya belum terjadi namun diamalkan pada saat ini.
di satu sisi ini menunjukan bahwa adanya semangat (giroh) yang tinggi untuk senantiasa menjalankan Sunnah Rasulullah ‘shollallu’alaihi wasallam sehingga menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar dan berusaha untuk menjaga kemurniaan agama. Namun disisi lain, hal ini pula akan menimbulkan semangat “bermusuhan” dikalangan umat. karena tak jarang dijumpai ketika suatu amalan yang dianggap ‘baru’ (tak ada pada zaman Rasul) langsung dikecam bahwasanya ialah ahli Bid’ah. Mengecam orang lain sebagai ahli bid’ah berarti sama halnya mengklaim bahwa ia adalah penghuni neraka. padahal yang menentukan surga dan neraka itu hanyalah Allah SWT. Maka tak heranlah jika banyak permusuhan-permusuhan timbul karena disebabkan perbedaan pemahaman yang kesemuanya bermuara kepada sumber yang sama.
Maka, sikap saling menghormati, saling menghargai antar golongan yang berbeda pemahaman dan sikap persaudaraan antar muslim hendaklah selalu dipupuk sehingga permusuhan-permusuhan yang ditimbulkan oleh perbedaan pemahaman itu tidaklah terjadi kembali.Masalahnya, lantas apa sebenarnya makna dari bid’ah itu sehingga menimbulkan berbagai macam varian pemahaman di kalangan umat. Dalam tulisan sederhana ini yang tentunya jauh dari kesempurnaan akan dikemukan penjelasan-penjelasan yang bersumber dari berbagai macam sumber diantaranya tokoh ulama di daerah Lampung ketika terjadi dialog tentang bidah dan bersumber dari tulisannya yang dinukilkan dari kitab-kitab muktabarah.
PENGERTIAN BID’AH MENURUT BAHASA
menurut BAHASA, dalam kitab “Lisanul Arab” yang ditulis oleh Muhammad bin Mukarram bin ‘Ali Abu al-Fadl Jamal al Din bin Mandzur bahwa البدعة adalah ism (kata benda) dari الإبتداع (menciptakan sesuatu). Dikatakan, بدع الشيئ يبدعه بدعا وابتدعه انشأه وبدأه . Kata البديع dan البدع berarti “sesuatu yang pertama.”
Jika dikatakan : “فلان بدع فى هذا الأمر”, berarti “orang yang pertama kali melakukannya, dan belum pernah ada orang lain yang melakukannya.” Sedangkan kata: “أبدع وابتدع وتبدع” berarti mengada-ngadakan suatu bid’ah.
Imam Abu al-Husain Ahmad bin Faris (w. 395 H) berkata:ابتداء الشيئ وضعه لا عن مثال” [Sesuatu yang pertama adanya dan dibuat tanpa ada contoh], sedangkan al-Imam Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qadir al-Razi berkata, bahwa bid’ah secara bahasa berarti: "اخترعه لا على مثال سابق" (mengadakan sesuatu dengan tanpa ada contoh terlebih dahulu).ini dikutip dari kitabnya Muhtar al-Shihhah, (Beirut : Dar al Fikr, [t.th]), hal. 43.
maka, jelaslah arti bid’ah menurut bahasa itu. bid’ah merupakan suatu perkara yang baru tanpa adanya panduan atau contoh sebelumnya.
PENGERTIAN BID’AH MENURUT ISTILAH
Kemudian bagaimanakah pengertian Bid’ah menurut istilah itu sendiri yang kemudian menimbulkan pemahaman berbeda dikalangan umat. Sebagaian dari mereka Ada yang memahami ‘bid’ah’ yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan As-Sunnah saja dan apa pula yang menafsirkan lebih global yang berarti segala sesuatu yang tidak terjadi pada zaman Rasul SAW. baik itu terpuji maupun hal yang tercela.
Maka para ulama menafsirkan bid’ah diantaranya
1. Al Imam al-Syafi’i ( 150 H/ 767 M –204 H/820 M) :
Al-Baihaqi dengan isnad-nya meriwayatkan dalam Manaqib al-Syafi’i dari al-Imam al-Syafi’i r.a, ia berkata :
المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابًا أو سنةً أو أثرًا أو اجماعًا فهذه البدعة الضلالة. والثانية ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من العلماء وهذه محدثة غير مذمومة، وقد قال عنه فى قيام رمضان نعمت البدعة يعنى محدثة لم تكن
“Perkara-perkara baru ada dua bagian, pertama sesuatu yang baru diadakan berupa sesuatu yang bertentangan dengan kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua, suatu yang diadakan berupa kebajikan yang tidak diperselisihkan oleh seorang ulama pun, inilah (bid’ah) yang tidak tercela. “Umar ra. pernah berkata mengenai Qiyam Ramadhan: “ni’mat al-bid’ah hadzihi,” yakni perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya.”
(lihat : Al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Jilid I, hal. 469, lihat juga al-Hafidz Ibn Hajar, Fath al Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1407), Jilid XIII, hal. 253.)
2. Al-Imam Ibn Hazm al-Dzahiri (wafat 456 H)
Beliau mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
البدعة فى الدين كل ما لم يأت فى القرآن ولا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا أن منها ما يؤخر عليه صاحبه ويعذر بما قصد إليه من الخير ومنها ما يؤجر ويكون حسنا وهو ما كان أصله الإباحة، كما روى عن عمر رضى الله عنه نعمت البدعة هذه. وهو ما كان فعل خير جاء النص بعمومه استجابا، وإن لم يقرر عمله فى النص ومنها ما يكون مذموما ولا يعذر صاحبه وهو ما قمت الحجة على فساده
“Bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan tidak diatur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama, hanya saja di antara bid’ah ini ada yang pelakunya bisa memperoleh pahala dan dibalasi niat baiknya. Di antara bid’ah itu ada yang bisa memperoleh pahala, dan sesuatu itu adalah hal yang baik, yaitu yang pada asalnya adalah al-ibahah (boleh dilakukan). Sebagaimana diriwayatkan dari Umar ra: “ni’mat al-bid’ah hadzihi (inilah sebaik-baik bid’ah),” dan sesuatu adalah perbuatan baik yang tercakup dalam keumuman al-nashsh sebagai sesuatu perbuatan yang dicela dan pelakunya tidak memperoleh pahala. Inilah suatu perbuatan di mana ada argumen yang memastikan kerusakannya.”
3. Al-Imam ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam wafat. 660 H) yang mendapat gelar
“Sulthan al-‘Ulama” mengemukakan:
هي فعل لم يعهد الرسول صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة محرمة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة
“Bid’ah adalah suatu perbuatan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama. bid’ah dapat dibagi menjadi: bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah.”
(lihat : ‘Izz al-Din Bin ‘Abd al-Salam, Qawa’d al-Ihkam fi al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420/1999), cetakan I, Jilid II, hal. 133-134.)
penjelasannya, bahwa semua yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW dinamakan dengan bid’ah termasuk yang bernilai baik (positif). namun, perlu dilihat pula terdapat pembagian bidah mnjadi lima yang disesuaikan dengan hukum taklif yaitu wajib, haram, mandub, makruh, mubah. Menjadi wajib ketika melingkupi pada ranah wajibah (kaidah-kaidah wajib), menjadi muharramah ketika termasuk kedalam ranah suatu yng dilarang dan tdak berlandaskan syara’ dan seterusnya.
4. Al-Imam Abu Sa’id al-Khadimi mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
وهى الزيادة فى أعمال الدين أو النقصان من الحادثان بعد الصحابة بغير إذن من الشارع لا
قولا ولا فعلا ولا صريحا ولا إشارة فلا تناول العادات أصلا بل تقتصر على بعض الإعتقاد وبعض صور العبادات.
Bid’ah itu adalah tambahan dalam amaliah agama ataupun pengurangan daripadanya yang keduanya itu baru terjadi sesudah masa sahabat, dengan tidak ada izin dari al-Syari’ (pembuat syariat), tidak dengan perkataan, tidak dengan perbuatan, tidak dengan terang dan tidak dengan isyarat. Maka bid’ah itu tidak menyangkut urusan adat sama sekali, akan tetapi hanya berkisar atas sebagian akidah dan sebagian rupa-rupa ibadah.
(lihat : Abu Sa’id al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah Syarh Tariqah Muhammadiyyah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1348) Juz I, hal. 92-93)
dengan demikian, dari dari uraian tentang definisi bid;ah secara istilah dapat disimpulkan menjadi segala sesuatu yang baru atau pengurangan dan penambahan dalam agama islam yang terjadi pada zaman sekarang yang itu tidak pernah ada pada zaman Rasulullah ‘Shalallohu’alaihi wasallam’ yang menyangkut persoalan akidah (kepercayaan) dan ibadah dan yang serupa dengannya. namun, tidaklah menyangkut persoalan adat.
KLASIFIKASI BID’AH
dari uraian tersebut pula para ulama mengklasifikasikan bid’ah menjadi dua garis besar yaitu bidah hasanah (terpuji) dan bid’ah syayyi’ah (tercela).
1. Bid’ah Hasanah (terpuji) yaitu segala perbuatan (amaliyah) yang menyangkut persoalan agama yang baik dan tentunya tidak bertentangan dengan syariat islam.
seperti doa bersama, perayaan hari besar islam, peringatan maulid nabi, tahlilan, yasinan dari rumah ke rumah, bersalaman seusai mengerjakan shalat dan masih banyak lagi. Tentunya hal ini merupakan amaliyah yang terdapat landasannya. bukannya nabi Muhammad SAW pun pernah bersabda أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم) artinya kamu lebih mengetahui urusan duniamu (lihat : Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid II, hal. 340) maka dapat difahami dalam artian bahwa ada unsur-unsur (ajaran) yang ajran esensi agama ada yang disebut unsur-unsur yang merupakan ‘teknis’ dalam pelaksanaannya ajaran itu. maka rasul memberikan kebebasan kepada umat dalam rangka melaksanakan ajaran itu. misalnya doa bersama bahwa dalam alquran pun apabila selsei mengerjakan shalat maka diperintahkan untuk berdzkir (baca: Q S. An nisa : 103). berdzikir itu bisa dengan berdoa, tahlil, beristighfar. Teknis dalm membaca bisa dengan sendirian kah, ada imam kah, dengan suara keras ataupun lemah itu semua adalah termasuk teknis. maka terserah kita untuk melaksanakannya dalam menentukan teknisnya.
contoh lainnya yang sering muncul ialah masalah ta’ziyah, apakah itu malam kesatu, kedua samapai ke tujuh dan seterusnya. Cara (teknis) berta’ziyah tidak diatur oleh Nabi maka teknis itu terserah kita dalam melaksanakannya yang yang pentng esensi nya tetap sama yaitu mendoakan. sama halnya dengan peringatan hari besar islam bahwa bukankah Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Allah menceritakan masa lalu sebagai ibarat kepada orang yang berfikir. Misal maulid nabi, isra mi’raj yang telah terjadi masa lalu, maka teknis dalam melaksanakannya misalnya dengan mengundang orang banyak dan dikumpulkan untuk mendengar ceramah dari seorang penceramah atau dengan menulis di mass media sekalipun.
sehingga sekali bahwa teknis ataupun cara melaksanakan ajaran itu diserahkan kepada kita, sedangkan dalam masalah esensi ajaran itu yang apabila diada-adakan maka itulah yang disebut sebagai bid’ah.
2. Bid’ah Sayyi’ah/ Qobihah/ Fasidah, yaitu segala perbuatan (amaliyah) yang menyangkut persoalan agama islam yang tidak baik dan berseberangan dengan syariat islam. misalnya pergi ke seorang dukun atau paranormal untuk menayakan ramalan tentang jodoh, nasib, ataupun meminta-minta pada pohon besar yang diyakini kramat. maka, jelaslah sudah bahwa hal semacam inilah yang dimaksudkan sebagi bid’ah syayyiah (tercela) yang tidak ada landasannya dalam syariat islam.
***
Ada beberapa argumen yang dikemukakan untuk dua klasifikasi bid’ah di atas:
1. Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Hadid : 27
وجعلنا في قلوب الذين اتبعوه رأفة ورحمة ورهبانية ابتدعوها ما كتبناها عليهم إلا ابتغاء رضوان الله (الحديد: 27)
“Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah SWT”. (QS. Al-Hadid: 27)
Ayat ini menjadi dalil adanya bid’ah hasanah itu, karena maknanya, memuji orang-orang yang beriman dari umat Nabi Isa yang mereka mengikutinya dengan penuh keimanan dan tauhid. Allah SWT memuji mereka karena mereka adalah “ أهل الرأفة “ dan “ أهل الرحمة “ dan juga mengada-adakan rahbaniyyah. Al-rahbaniyyah adalah memutuskan diri dari nafsu sahwat, sehingga mereka tidak mau menikah karena ingin serius beribadah. Adapun makna dari “Kami tidak memfardukan kepada mereka,” ialah karena mereka sendiri yang menghendaki untuk lebih dekat dengan Allah SWT, lalu Allah SWT memuji mereka atas apa yang mereka ada-adakan itu, meskipun tidak ada teks kitab Injil yang mengaturnya dan tidak ada pula perintah dari Nabi Isa AS.
2. Hadits shahih dibawah ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah/mahmudah :
عن عبد الرحمن بن عبد القارى أنه قال خرجت مع عمربن الخطاب رضى الله عنه ليلة فى رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلى الرجل لنفسه ويصلى الرجل فيصلى بصلاته الرهط فقال عمر إنى أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبى بن كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلات قار لهم فقال عمر: نعمت البدعة هذه (رواه ملك والبخارى)
Hadits shahih di atas dengan jelas menunjukkan bahwa shalat Tarawih berjamaah secara terus menerus sebulan penuh adalah bid’ah, karena tidak dikenal pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama. meskipun demikian, menurut komentar Umar ibn al Khaththab terklasifikasi dalam bid’ah hasanah.
(lihat : Malik bin Anas, Muwaththa’ Imam Malik, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1370/1951), Juz I, hal. 104-105; al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut; Dar al-Fikr, [t.th]), Jilid I, hal. 342)
3. Berdasarkan hadits hasan berikut ini ternyata ada bid’ah sayyi-ah/dhalalah :
عن كثير بن عبد الله عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لبلال بن الحارث اعلم قال ما أعلم يا رسول الله قال: إنه من أحيا سنة من سنتى قد أميتت بعدى كان له من الأجر مثل من عمل بها من آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئًا (رواه الترمذى وقال هذا حديث حسن)
Jadi berdasarkan hadits yang disebut terakhir ini, seandainya setiap bid’ah itu dhalalah, tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama tidak akan menambah kata-katanya menjadi “ بدعة ضلالة “, namun akan cukup menyebut dengan redaksi “ ومن اتبدع بدعة“ Dengan disebutkannya kata “بدعة ضلالة “, secara logis berarti ada bid’ah hasanah.
(lihat : Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: dar al-Fikr, 1403/1983), jilid IV, hal. 150-151)
hadits-hadits shahih yang memuat kalimat “ وكل بدعة ضلالة“ dan dalam riwayat al-Imam al-Nasai setelah kalimat tersebut ada tambahan “وكل ضلالة فى النار “.(lihat : Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Mesiar : Mathba’ah Mustafa Muhammad, [t.th], hal. 91)
Lalu kemudian muncul pernyataan mengapa para ulama, khususnya dalam mazhab al-Syafi’i, membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Bahkan ada yang merincinya menjadi lima kategori? Apakah yang demikian justru tidak kontradiktif dengan hadits di atas ? Jawabannya hadits-hadits tersebut secara lahir tidaklah saling bertentangan (ta’arudh).
Karena hadits “وكل ضلالة فى النار “ ini bersifat umum ( عام ) dan tidak di-takhshish. Sebagaimana dinyatakan antara lain oleh Muhammad al-Zurqani :
وحديث: كل بدعة ضلالة عام مخصوص.
(lihat : Muhammad al-Zurqani, Syarh al-Zurqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, (Beirut : Dar al-Zil, [t.th]), hal. 238)
Oleh karena itu, pengertian hadits “setiap bid’ah itu sesat”, setelah di-takhshish (dikecualikan) menjadi : setiap bid’ah itu sesat :
1. Kecuali dalam urusan dunia, berdasarkan hadits shahih riwayat al-Imam Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم)
(lihat : Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid II, hal. 340)
Contohnya : membuat gedung yang kokoh, membuat pesawat terbang, kendaraan yang bagus dan urusan duniawi lainnya.
2. Kecuali yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidin, berdasarkan hadits :
فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين (رواه ابو داود)
(lihat : Abu Daud, Loc. cit)
Contohnya : membukukan al-Qur'an, adzan dua kali dalam adzan untuk shalat Jum'at memerintahkan untuk shalat Tarawih dikerjakan secara berjamaah selama bulan Ramadhan.
3. Kecuali bid’ah hasil ijtihad para imam mujtahid, berdasarkan hadits dari Mu’adz bin Jabal yang hendak diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama ke Yaman itu. Sebab, berdasarkan hadits ini, para imam mujtahid telah mendapat ijin dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama untuk memutuskan dan menggali hukum. Oleh karena itu, hasil-hasil ijtihad para mujtahid terdahulu tidak boleh dikatakan sebagai bidah dhalalah. Meskipun hasil-hasil ijtihadnya itu belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama.
Contohnya adalah ijtihad dalam masalah zakat fitrah yang menurut mazhab Imam Abu Hanifah sah bila dibayarkan dengan uang seharga makanan pokok yang dizakatkan, zakat padi, sapi dan lain sebagainya yang belum pernah dikerjakan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama maupun para sahabat. Hal semacam ini tidak boleh diklasifikasikan dalam bid’ah dhalalah.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak tepat jikalau semua bid’ah itu adalah sesat (dhalalah).
2. para ulama mengkalsifikasikan bid’ah kedalam dua kategori atau bahkan terdapat yang mengklasifikasikan menjadi lima. namun secara garis besar dapat dibagi menjadi bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah sayyiah (tercela). adapun yang dimaksudkan bid’ah hasanah itu ialah segala amaliyah keagamaan yang belum terdapat pada zaman nabi namun diamalkan setelah nabi yang tentunya berlandaskan pada syariat islam. sedangkan yang maksud dengan bid’ah sayyi’ah ialah segala amaliyah yang tidak terdapat pada masa nabi namun diamalkan pada zaman setelah nabi dan berseberangan dengan Syari’at islam
3. hendaklah kita saling menghormati dan menghargai antar golongan yang berbeda pemahaman sehingga tidak akan menimbulkan permusuhan seperti yang kerap terjadi. kegiatan menjaga hati orang lain yang berbeda pemahaman atau penafsiran untuk tidak memfonisnya sebagai ahli bid’ah memang harus selalu dijaga. memfonis seseorang sebagai ahli bid’ah berarti pula memfonisnya sebagai ahli neraka (penghuni neraka). Na’udzubillah. Padahal yang berhak untuk menentukan surga dan neraka hanyalah Allah semata. Semoga Allah SWT selalu membimbing, memberikan ilmu yang bermanfaat, aminn, WaAllahu’Alam..
- Riwayat dari Anas ra. , bahwa ada seorang laki2 datang lalu memasuki shaf dengan nafas besar seraya mengucapkan: ALHAMDULILAAHI HAMDAN KATSIRAN THAYYIBAN MUBARAKAN FIIHI ( Segala puji bagi ALLAH dengan puji yang tak terhingga, yang baik dan penuh berkah ) Setelah Rasulullah saw selesai sholat beliau bertanya: Mana orang yangmengucapkan kalimat tadi Orang2 tidak menjawab, Rasulullah saw bertanya lagi: Mana orang yang mengucapkan kalimat tadi? Dia tidak mengucapkan hal yang jelek! Maka ada seorang laki2 menjawab: Saya tadi datang dengan nafas besar, lalu saya ucapkan kalimat tadi Nabi saw berkata: Sungguh aku melihat 12 malaikat berebut untuk menyampaikan bacaan itu ( kehadirat ALLAH ) ( HR. Imam Muslim 735 )
- Riwayat dari Abu Said Al Khudri, dia berkata: Muawiyah ra melewat halaqah di mesjid, lalu dia bertanya: Majelis apa ini? Mereka menjawab: Kami duduk untuk berzikir kepada ALLAH Azza Wa Jalla Muawiyah bertanya lagi: Demi ALLH benarkah kalian duduk hanya untuk itu? Mereka menjawab: Demi ALLAH, kami duduk hanya untuk itu Muawiyah berkata: Sungguhnaku tidak meyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, karena tidak ada orang yang menerima hadis dari Rasulullah saw lebih sedikit daripada aku, sesungguhnya Rasulullah saw pernah melewati halaqah para sahabat Nya lalu Rasulullah saw bertanya: Majelis apa ini? Mereka menjawab: Kami duduk untuk berzikir kepada ALLAH dan memujiNYA atas hidayahNYA berupa Islam dan atas anugerahnya kepada kami Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah demi ALLAH kalian duduk hanya untuk itu? Mereka menjawab: Demi ALLAH kami duduk hanya untuk itu RAsululah saw berkata: Sungguh aku meyuruh kalian bersumpah bukan karena mencurigai kalian tetapi karena aku didatangi Jibril as kemudian dia memberitahuku bahwa ALLAH Azza Wa Jalla membanggakan kalian di depan para malaikatnya ( HR. Imam Muslim 1889 )