Galeri Foto

Kamis, 16 Juni 2011

Makam Ki Ageng Suryomentraman

KI AGENG SURYOMENTARAM DIMAKAMKAN
DI KANGGOTAN, PLERET, BANTUL
Keletakan:
Makam Ki Ageng Suryomentaram berada di Dusun Kanggotan, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Propinsi DIY. Keletakkannya berada di sisi paling utara-timur dari kompleks makam umum di Dusun Kanggotan. Kompleks makam ini berada di belakang Masjid At Taqorrub, yang merupakan masjid peninggalan Sultan Agung ketika Sultan Agung membangun Keraton Mataram Kerta.
Data Fisik:
Makam Ki Ageng Suryomentaram berada dalam satu cungkup. Nisannya berdampingan
dengan nisan Nyi Ageng Suryomentaram. Ukuran nisan keduanya relatif sama. Panjang nisan kira-kira 165 cm, tinggi 45 cm, dan lebar 40 cm. Nisan keduanya terbuat dari batu marmer berwarna putih kecoklatan.

Cungkup makam ini memiliki arah hadap ke selatan dengan satu pintu yang terbuat dari kayu. Cungkup makam berupa bangunan tembok dengan ukuran sekitar 4 m x 4 m. Tingginya sekitar 3 meteran.
Latar Belakang
Ki Ageng Suryomentaram dikenal karena ajaran-ajaran moralistiknya. Ajaran-ajarannya yang sangat populer di antaranya dikenal dengan istilah Kaweruh Begja dan Mulur Mungkret.
Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmadji. Ia merupakan putra nomer 55 dari Sultan Hamengku Buwana VII. Ibu dari Ki Ageng Suryomentaram bernama Bendara Raden Ayu Retnomandoyo, putrid dari Patih Danuredjo VI.
Ia menempuh pendidikan pertamanya di Srimanganti. Ia pernah juga mengikuti kursus Klein Ambtenaar dan belajar bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Arab. Ia juga pernah bekerja di gubernemen selama 2 tahun. Hobi utamanya adalah membaca hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Ia juga pernah belajar mengaji pada KHA. Dahlan.

Dalam kehidupannya, Ki Ageng Suryomentaram menemukan kegelisahan, kekecewaan yang sangat mengganggu pikiran dan perasaannya. Kegelisahannya ini di antaranya disebabkan oleh karena dalam kesehariannya (di dalam keraton) ia hanya 
menemukan sembah, perintah, marah, dan minta. Kematian kakeknya, Patih Danuredjo VI membuatnya semakin sedih dan kecewa. Diceraikannya ibunya oleh Sultan Hamengku Buwana VII semakin menambah kekecewaannya. Kekecewaannya semakin sempurna dengan meninggalnya istrinya setelah 40 hari melahirkan puteranya.
Akhirnya Ki Ageng Suryomentaram melarikan diri dari lingkungan keraton dan menjalani hidup seperti orang biasa dengan berjualan kain dan bahkan menjadi pemburung penggalian sumur. Ia juga mengajukan dirinya untuk berhenti menjadi pangeran kepada ayahnya, Sultan Hamengku Buwana VII tetapi tidak dikabulkan. Permohonannya untuk berhenti menjadi pangeran dikabulkan setelah Sultan Hamengku Buwana VIII naik tahta.
Sejak itu pula ia menjalani kehidupan yang “bebas”. Ia sering melakukan tirakat di tempat-tempat sepi (peziarahan). Dalam perjalanan hidupnya itulah Ki Ageng Suryomentaram kemudian dapat menelurkan pemikiran-pemikiran filosofis moralistiknya yang kemudian di antaranya dikenal dengan istilah Kaweruh Begja dan Mulur Mungkret, dan Sa Nem.
Paparazzy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar