Galeri Foto

Jumat, 27 Juli 2012

Niat Mandi Besar dan Tata Caranya


Mandi wajib atau janabah, atau junub adalah mandi yang dilakukan ketika kita mengalami mimpi basah atau habis bersenggama. Nah, pada saat seperti inilah kita diwajibkan untuk mandi wajib/janabah/mandi besar. Namun tidak seperti mandi biasa,mandi besar ini harus diperhatikan niyat dan tata caranya, berikut niyat mandi wajib atau mandi besar dan tata caranya:
Niyat mandi besar atau mandi jinabat itu seperti niyat niyat dalam ibadah yang lain, yaitu di dalam hati, adapun kalimat niyatnya adalah:
niat mandi jinabat dan tata caranya
Jika mandi besar disebabkan junub (Mimpi basah, keluar mani, senggama) maka niyat mandi besarnya adalah:
“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari jinabah, fardlu karena Allah Ta’ala”
Jika mandi besarnya disebabkan karena haidl maka niyat mandi besarnya adalah:
“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari haidl, fardlu karena Allah Ta’ala”
Jika mandi besarnya sebab nifas, maka niyat mandi besarnya adalah:
“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari nifas, fardlu karena Allah Ta’ala”
Adapun tata caranya sebagai berikut:
1. Mandi junub/besar harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.

2. Dalam mandi junub/jinabat/besar, harus dipastikan bahwa air telah mengenai seluruh tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di manapun di seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula dibantu dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian tubuh yang paling tersembunyi sekalipun.

3. Mandi junub/jinabat/besar dimulai dengan membasuh kedua telapak tangansampai pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak air.

4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.

5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dicuci dengan air.

6. Setelah itu berwudlu ‘sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.

7. Kemudian mengguyurkan air di mulai dari pundak kanan terus ke kepala dan seluruh tubuh dan menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.

8. Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh, maka mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.

9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.

10. Disunnahkan untuk melaksanakan mandi besar/junub/jinabat itu dengan tertibseperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

“Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah bersabda:
Barangsiapa yang meningggalkan bagian tubuh yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut untuk tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan kepadanya demikian dan demikian dari api neraka “. HR. Abu Dawud

Manhaj Salaf, mengikuti siapakah dia?



Mereka niatnya baik ingin mengikuti segala penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka mengikuti apa yang disampaikan oleh ulama-ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun tidak pernah bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh

Padahal yang melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh adalah Imam Mazhab yang empat. Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh. Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh langsung dari lisannya Salafush Sholeh

Para tokoh-tokoh Alawiyin (keturunan cucu Rasuullah) yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan sebagian mereka adalah imam-imam mujtahid pula seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain, Ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam mazhab yang empat terutama Imam Asy Syafi'i ~rahimahullah 

Para ulama keturunan cucu Rasulullah yang membawa agama Islam ke tanah air, yakni para Wali Songo. Salah satunya Syarif Hidayatullah yang kita kenal dengan Sunan Gunung Jati. Kemudian dilanjutkan oleh para Habib seperti Habib Tanggul di Jawa Timur dan Habib Ali di Kwitang, Jakarta, mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu alaihi wasallam, Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib

Para ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan mazhab Imam Asy Syafi'i

Lah , koq sekarang ada ulama yang bukan pengikut Imam Mazhab yang empat menyatakan beginilah cara beribadah Salafush Sholeh yang benar 

Bahkan salah satu ulama keturunan cucu Rasulullah lebih memilih mengungkapnya ketimbang hancurnya ummat, sebagaimana yang beliau sampaikan dalam tulisan padahttp://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22475&catid=9

Rabu, 25 Juli 2012

Siapa saja Yang Diperkenankan Tidak Berpuasa Ramadhan?


Alhamdulillah kita sudah memasuki tanggal 5 Ramadhan dengan selamat, adapun diantara kita yang belum bisa mengikuti puasa bulan Ramadhan karena suat hal yang menurut Fiqih tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Di dalam Fiqih disebutkan bahwa :
1. Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka puasanya pun tidak sah. Namun dalam hal ini ulama membagi ada dua macam orang gila yaitu :
a. Gila yang di sengaja jika puasa maka puasanya tidak sah akan tetapi wajib mengqodho. Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa karena ia membuat dirinya gila dan ini adalah kesalahan maka nanti setalah ramadhan ia mengqodho.
b. Gila yang tidak di sengaja, disamping tidak wajib puasa seandainyaberpuasa maka puasanya tidak sah danjika sudah sembuh tidak berkewajiban mengqodho.
2. Anak kecil
Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3 tanda yaitu :
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun hijriah.
b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia   yaitu usia 15 tahun.
3. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Akan tetapi disini ada ketentuan bagi orang sakit tersebut yaitu :
a. Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa.
b. Menurut dokter muslim terpercaya penyakit akan bertambah parah atau lama sembuhnya jika ia puasa atau berdasarkan pengalamannya sendiri setiap kali berpuasa penyakitnya bertambah parah.
Catatan : Dalam hal ini tidak terbatas kepada orang sakit saja akan tetapi siapapun yang lagi berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya. Akan tetapi ia hanya boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang puasa.
4. Orang tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.
5. Haid
Wanita yang lagi haid tidak wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
6. Nifas
Wanita yang lagi nifas tidak wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
7. Hamil
Orang hamil yang khawatir akan kondisi : a. Dirinya, atau b. Janin bayinya
8. Menyusui
Orang menyusui yang khawatir akan kondisi : a. Dirinya ataub. Kondisi bayi yang masih di bawah umur 2 tahun hijriyah. Bayi disini tidak harus bayinya sendiri akan tetapi bisa juga bayi orang lain
9. Bepergian (musafir)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini :
a. Tempat yang di tuju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
b. Di pagi (saat subuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya. Misal seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Antara Cirebon semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan cirebon jam 2 malam (sabtu dini hari). Subuh hari itu adalah jam 4 pagi. Pada jam 4 pagi (saat subuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes. Maka di pagi hari sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Berbeda jika berangkatnya ke semarang setelah masuk waktu subuh, sabtu pagi setelah masuk waktu subuh masih di Cirebon. Maka di pagi hari itu ia tidak boleh tidak berpuasa karena sudah masuk subuh ia masih ada di rumah. Tetapi ia boleh tidak puasa di hari ahadnya, karena di subuh hari ahad ia berada di luar wilayahnya.
Catatan
Seseorang dalam bepergian akan di hukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari. Misal orang yang pergi ke semarang tersebut dalam contoh saat ditegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di semarang juga tetap boleh berbuka asalkan ia tidak bermaksud tinggal di semarang lebih dari 4 hari. Dan jika ia niat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai semarang ia sudah di sebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqosor sholat. Untuk di hukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang akan tetapi kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari ia sudah disebut mukim.

Selasa, 24 Juli 2012

Pembahasan Tentang BID'AH

http://www.youtube.com/watch?v=9XkAMZKJGi4

LEBARAN DUA VERSI, TANYA KENAPA???

Tulisan yg menarik mengupas LATAR BELAKANG SEJARAH BEDA-PENDAPAT NU-MD dalam masalah LEBARAN dan RAMADHAN... 


Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.


Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum. 


Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.


Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar membaca shalawat (diba'an).


Kelima, dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, "Allah Akbar", dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.


Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya " harus beda " dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.


Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.


Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha'if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma'in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha'if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha'il al-a'mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Ygyakarta.


Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.


Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi'ie.


Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.


Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu pakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama mengunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal. 


Oleh karena itu, tahun 90an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.


Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.


Lalu membuat metode "wujud al-hilal". Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadis yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur'an berisikan seruan " taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr " dibuang dan arergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera. 


Populerkah metode "wujud al-hilal" dalam tradisi keilmuwan falak ?. Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.


Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya tak kan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.


Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat ?.


Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?. 


Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu' atau teropong moderen sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.


Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelamahan akademik pasti ada. Minal aidin al-faizin, mohon maaf lahir dan batin.

sumber : LEBARAN DUA VERSI, MUHAMMADIYAH "BIANG KEKACAUAN" ?
Oleh : ahmad musta'in syafi'ie

Kamis, 19 Juli 2012

Niat dan Mengucapkan "Nawaitu"


Dengan pengetahuan, seseorang akan bersikap secara proporsional. Keterkejutan sempat melanda, tatkala sebagian kalangan menyatakan bahwa mengucapkan niat denganNawaitu” adalah bid’ah, dan bahkan dalam keterangan lanjutan, lebih heboh lagi, pelakunya layak di-ta’zirdan diingatkan dengan keras. Sebegitu hebohkah? Ternyata setelah ditelusuri, ada sejumlah fakta. Tidak sepenuhnya benar, meski ada juga keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang menyatakan peringatan senada. Tulisan ini  sedikit mendudukkannya, semoga seimbang. Oya.. Sebelum lebih jauh terjadi salah faham, bahwa fokus kajian ini adalah tentang pengucapan niat. Adapun tentang niat, telah terjadi ijma’, alias semua ulama’ sepakat, bahwa NIAT ADALAH DALAM HATI.
Kajian komparatif tentang pengucapan niat dengan lisan
Dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah, sebuah karya semacam ensiklopedia fiqh, disebutkan bahwa mayoritas ulama madzhab berbeda pendapat dalam menstatuskan hukum pengucapan niat dalam ibadah.
* Sebagian besar ulama’ menyatakan bahwa mengucapkan niat (dengan catatan: asalkan tidak mengeraskannya sehingga mengganggu orang lain) adalah lebih utama. Karena dengan demikian, dia telah menyengaja dalam hati, plus mengucapkannya dengan lisan. Ada nilai plus dalam hal ini.
* Sebagian ulama (hanya sebagian kecil saja), menyatakan bahwa mengucapkan niat dengan lisan adalah makruh, meski dengan ucapan pelan.
Ada 2 (dua) kemungkinan sisi pandang kemakruhan hal ini.
Pertama, adakalanya pengujar pendapat ini berpendapat bahwa pengucapan niat adalah hal bid’ah, karena tak ada keterangannya dalam Qur’an dan sunnah.
Kedua, ada kemungkinan bahwa dengan pengucapan lisan ini terkadang seseorang lupa dari kesengajaan niat dalam hati, yang sehingga ibadahnya batal.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (murid Ibnu Taimiyyah) berkata: “Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam saat mendirikan shalat, beliau mengucapkan Allahu akbar, dan beliau tidak mengucapkan apapun sebelumnya, dan melafalkan niat sedikitpun, tidak juga mengucapkan <Usholli sholata …. mustaqbilal qiblati arba’a roka’atin imaman/ ma’muman>, tidak pula mengucapkan <ada’an / qodlo’an> atau fardlu waktu”.
Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah meriwayatkan kesepakatan para imam tentang tidak disyariatkannya mengeraskan (sekali lagi, mengeraskan, bukan sekedar melafalkan) niat dan mengulang-ulangnya. Beliau berkata, “Orang yang mengeraskan niat layak untuk dita’zir setelah diperingatkan, apalagi jika sampai mengganggu orang lain atau dia mengulang-ulangnya”.
Demikian keterangan dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah.
Syaikhul Islam madzhab Hanbali, Ibnu Taimiyyah memberikan porsi luas tentang pembahasan pelafalan niat ini dalam Fatawi-nya. Berikut ringkasan pernyataan beliau:
* Dalam masalah kesunnahan pelafalan niat (yakni melafalkannya dengan pelan), para ulama’ berbeda dalam dua pendapat :
1. Pendapat pertama, disunnahkan melafalkan niat, karena hal itu lebih mengukuhkan. Pendapat ini didukung kalangan ulama’ Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
2. Pendapat kedua, diungkapkan oleh kalangan ulama’ Malikiyyah dan sebagian Hanabilah, tidak disunnahkan melafalkan niat, karena hal itu adalah bid’ah, tidak pernah ada riwayat dari Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, atau dari para sahabat, juga tidak ada perintah dari Rasul kepada umatnya, tidak juga diketahui dari kaum muslimin. Andaikan hal itu disyariatkan, niscaya Rasul tidak mengabaikannya. Inilah yang oleh Syaikhul Islam itu dinyatakan sebagai ashahh atau paling shahih.
* Menurut Ibnu Taimiyyah, niat dengan pengucapan tidaklah perlu. Karena niat pastilah mengikut pada pengetahuan. Maksudnya, jika seseorang tahu bahwa dia akan melakukan sesuatu, pastilah ada niat di sana.
* Ibnu Taimiyyah memberikan catatan bahwa pengucapan niat dengan suara keras dan diulang-ulang, layak untuk diganjar ta’zir dan diperingatkan, karena mengganggu orang lain.
Demikian, Ibnu Taimiyyah dalam Fatawi-nya.
Mari kita bandingkan pendapat kalangan Hanabilah sendiri (yang mana Ibnu Taimiyyah mengaku sebagai penganut madzhab ini) dalam kitab-kitab referensinya. Dalam Al-Inshâf karya ‘Alâuddin Abul Hasan bin Sulaiman al-Mardawi (seorang pakar madzhab Hanbali yang dengan kitabnya ini beliau memetakan secara akurat pendapat madzhab ini), terdapat ungkapan sebagai berikut: “Tidak disunnahkan mengucapkan niat menurut salah satu dari dua wajah (versi pendapat). (Ketidaksunnahan) ini adalah al-manshûsh (ungkapan tekstual) dari Imam Ahmad, sebagaimana diungkap Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah, dia berkata, {“inilah yang benar”}. Wajah (versi pendapat) kedua, disunnahkan mengucapkan niat secara pelan, dan inilah al-madzhab (yang menjadi pegangan madzhab Hanbali), dan inilah yang menjadi prioritas pendapat kitab Al-Furu’, direkomendasikan oleh Al-‘Ubaidan, kitab At-Talkhîsh, Ibnu Tamim, dan Ibnu Razîn. Az-Zarkasyi menyatakan, bahwa inilah yang lebih utama menurut para ulama’ mutaakhirin”. Demikian penjelasan Al-Inshâf.
Dari kalangan Malikiyyah, Al-Adwi dalam Hasyiyah-nya menyatakan, bahwa pendapat populer dari madzhab Maliki adalah bahwa meninggalkan pengucapan niat, itu lebih utama, karena lisan bukan tempatnya niat. Akan tetapi At-Tilmisâni, ulama’ Malikiyah yang lain, menyatakan bahwa pengucapan niat adalah lebih utama.
Sedangkan dari kalangan Hanafiyyah, literatur kitab Raddul Mukhtar karya Ibnu Abidin cukuplah sebagai gambaran bahwa madzhab ini menyatakan bahwa pengucapan niat adalah mandub (hukum mandub ini menengah-nengahi antara pendapat yang menyatakan sunnah dan makruh, karena memang tidak diriwayatkan dari generasi salaf).
Walhasil, dalam mayoritas pendapat madzhab, pengucapan niat adalah sunnah, ataumandub atau dianjurkan, sebagai penghadir kemantapan hati. Hanya sebagian kecil saja yang menganjurkan untuk meninggalkannya, alias hukumnya makruh. Penilaian bid’ah, sejauh pengamatan dalam berbagai referensi hanyalah dilontarkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah.
PENTING :
Selain alasan teknis, agar lebih mengukuhkan kemantapan hati, talaffudh (pengucapan) niat dalam puasa dan ibadah-ibadah lain (selain haji) juga didasari penalaran analogi (qiyas), yakni diqiyaskan pada niat haji (ihram) yang disunnahkan untuk melafalkannya, sebagaimana hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:
إذَا تَوَجَّهْتُمْ إلَى مِنًى فَأَهِلُّوا بِالْحَجِّ
Jika kalian bertolak menuju Mina, maka keraskanlah suara untuk haji (yakni niat ihram dan talbiyah)
Demikianlah sekelumit kajian komparatif tentang pengucapan niat. Semoga bermanfaat.Wallahu a’lam.
Referensi
1. Mausu’ah al-Fiqhiyyah
2. Fatawi Kubra li Ibni Taimiyyah